FACING THE DREAM!!

Artikel berikut adalah tulisan yang menginspirasi dan memotivasi saya untuk mengejar salah satu mimpi saya. Berangkat ke luar negeri dalam satu tahun ke depan, sebelum tiba ramadhan. Saya beri Anda gambaran ringkas, saya adalah pria yang kini berusia 21 tahun 3 bulan. Mahasiswa semester 7 di salah satu universitas di Ibukota. Namun faktanya, seumur hidup saya belum sedetik pun naik pesawat (sungguhan) yang terbang melintasi berbagai kota. Ke bandara pun belum pernah. Sebenarnya sering sih, tapi hanya lewat di depan bandara Adi Sucipto Jogjakarta. Tapi dengan tulisan berikut ini, saya terlecut untuk mengubah keadaan dan mengakhiri rekor payah tersebut!



PASSPORT




Setiap saat mulai perkuliahan, saya selalu bertanya kepada mahasiswa berapa orang yang sudah memiliki pasport. Tidak mengherankan, ternyata hanya sekitar 5% yang mengangkat tangan. Ketika ditanya berapa yang sudah pernah naik pesawat, jawabannya melonjak tajam. Hampir 90% mahasiswa saya sudah pernah melihat awan dari atas. Ini berarti mayoritas anak-anak kita hanyalah pelancong lokal.



Maka, berbeda dengan kebanyakan dosen yang memberi tugas kertas berupa PR dan paper, di kelas-kelas yang saya asuh saya memulainya dengan memberi tugas mengurus pasport. Setiap mahasiswa harus memiliki "surat ijin memasuki dunia global."



Tanpa pasport manusia akan kesepian, cupet, terkurung dalam kesempitan, menjadi pemimpin yang steril. Dua minggu kemudian, mahasiswa sudah bisa berbangga karena punya pasport.Setelah itu mereka bertanya lagi, untuk apa pasport ini? Saya katakan, pergilah keluar negeri yang tak berbahasa Melayu. Tidak boleh ke Malaysia, Singapura, Timor Leste atau Brunei Darussalam. Pergilah sejauh yang mampu dan bisa dijangkau.


"Uang untuk beli tiketnya bagaimana, Pak?"



Saya katakan saya tidak tahu.



*Dalam hidup ini, setahu saya hanya orang bodohlah yang selalu memulai pertanyaan hidup, apalagi memulai misi kehidupan dan tujuannya dari uang.


*Dan begitu seorang pemula bertanya uangnya dari mana, maka ia akan terbelenggu oleh constraint. Dan hampir pasti jawabannya hanyalah tidak ada uang, tidak bisa, dan tidak mungkin.


Pertanyaan seperti itu tak hanya ada di kepala mahasiswa, melainkan juga para dosen steril yang kurang jalan-jalan. Bagi mereka yang tak pernah melihat dunia, luar negeri terasa jauh, mahal, mewah, menembus batas kewajaran dan buang-buang uang. Maka tak heran banyak dosen yang takut sekolah ke luar negeri sehingga memilih kuliah di almamaternya sendiri.


Padahal dunia yang terbuka bisa membukakan sejuta kesempatan untuk maju. Anda bisa mendapatkan sesuatu yang yang terbayangkan, pengetahuan, teknologi, kedewasaan, dan wisdom.


Namun beruntunglah, pertanyaan seperti itu tak pernah ada di kepala para pelancong, dan diantaranya adalah mahasiswa yang dikenal sebagai kelompok backpackers. Mereka adalah pemburu tiket dan penginapan super murah, menggendong ransel butut dan bersandal jepit, yang kalau kehabisan uang bekerja di warung sebagai pencuci piring. Perilaku melancong mereka sebenarnya tak ada bedanya dengan remaja-remaja Minang, Banjar, atau Bugis, yang merantau ke Pulau Jawa berbekal seadanya.Ini berarti tak banyak orang yang paham bahwa bepergian keluar negeri sudah tak semenyeramkan, sejauh, bahkan semewah di masa lalu.


Seorang mahasiswa asal daerah yang saya dorong pergi jauh, sekarang malah rajin bepergian. Ia bergabung ke dalam kelompok PKI (Pedagang Kaki Lima Internasional) yang tugasnya memetakan pameran-pameran besar yang dikoordinasi pemerintah. Disana mereka membuka lapak, mengambil resiko, menjajakan aneka barang kerajinan, dan pulangnya mereka jalan-jalan, ikut kursus, dan membawa dolar. Saat diwisuda, ia menghampiri saya dengan menunjukkan pasportnya yang tertera stempel imigrasi dari 35 negara. Selain kaya teori, matanya tajam mengendus peluang dan rasa percaya tinggi. Saat teman-temannya yang lulus cum-laude masih mencari kerja, ia sudah menjadi eksekutif di sebuah perusahaan besar di luar negeri.




The Next Convergence


Dalam bukunya yang berjudul The Next Convergence, penerima hadiah Nobel ekonomi Michael Spence mengatakan, dunia tengah memasuki Abad Ke tiga dari Revolusi Industri.


Sejak tahun 1950, rata-rata pendapatan penduduk dunia telah meningkat dua puluh kali lipat. Maka kendati penduduk miskin masih banyak, adalah hal yang biasa kalau kita menemukan perempuan miskin-lulusan SD dari sebuah dusun di Madura bolak-balik Surabaya-Hongkong.


Tetapi kita juga biasa menemukan mahasiswa yang hanya sibuk demo dan tak pernah keluar negeri sekalipun.


Mahasiswa tipe ini, jangankan ke luar negeri, tahu harga tiket pesawat saja tidak, apalagi memiliki pasport.Maka bagi saya, penting bagi para pendidik untuk membawa anak-anak didiknya melihat dunia. Berbekal lima ratus ribu rupiah, anak-anak SD dari Pontianak dapat diajak menumpang bis melewati perbatasan Entekong memasuki Kuching. Dalam jarak tempuh sembilan jam mereka sudah mendapatkan pelajaran PPKN yang sangat penting, yaitu pupusnya kebangsaan karena kita kurang urus daerah perbatasan.


Rumah-rumah kumuh, jalan berlubang, pedagang kecil yang tak diurus Pemda, dan infrastruktur yang buruk ada di bagian sini. Sedangkan hal sebaliknya ada di sisi seberang. Anak-anak yang melihat dunia akan terbuka matanya dan memakai nuraninya saat memimpin bangsa di masa depan.


Di universitas Indonesia, setiap mahasiswa saya diwajibkan memiliki pasport dan melihat minimal satu negara.


Dulu saya sendiri yang menjadi gembala sekaligus guide-nya. Kami menembus Chiangmay dan menyaksikan penduduk miskin di Thailand dan Vietnam bertarung melawan arus globalisasi. Namun belakangan saya berubah pikiran, kalau diantar oleh dosennya, kapan memiliki keberanian dan inisiatif?


Maka perjalanan penuh pertanyaan pun mereka jalani. Saat anak-anak Indonesia ketakutan tak bisa berbahasa Inggris, anak-anak Korea dan Jepang yang huruf tulisannya jauh lebih rumit dan pronounciation-nya sulit dimengerti menjelajahi dunia tanpa rasa takut.


Uniknya, anak-anak didik saya yang sudah punya pasport itu 99% akhirnya dapat pergi keluar negeri. Sekali lagi, jangan tanya darimana uangnya. Mereka memutar otak untuk mendapatkan tiket, menabung, mencari losmen-losmen murah, menghubungi sponsor dan mengedarkan kotak sumbangan. Tentu saja, kalau kurang sedikit ya ditomboki dosennya sendiri.


Namun harap dimaklumi, anak-anak didik saya yang wajahnya ndeso sekalipun kini dipasportnya tertera satu dua cap imigrasi luar negeri. Apakah mereka
anak-anak orang kaya yang orangtuanya mampu membelikan mereka tiket?
Tentu tidak. Di UI, sebagian mahasiswa kami adalah anak PNS, bahkan tidak jarang mereka anak petani dan nelayan. Tetapi mereka tak mau kalah dengan TKW yang meski tak sepandai mereka, kini sudah pandai berbahasa asing.


Anak-anak yang ditugaskan ke luar negeri secara mandiri ternyata memiliki daya inovasi dan inisiatif yang tumbuh. Rasa percaya diri mereka bangkit Sekembalinya dari luar negeri mereka membawa segudang pengalaman, cerita, gambar dan foto yang ternyata sangat membentuk visi mereka.


Saya pikir ada baiknya para guru mulai membiasakan anak didiknya memiliki pasport. Pasport adalah tiket untuk melihat dunia, dan berawal dari pasport pulalah seorang santri dari Jawa Timur menjadi pengusaha di luar negeri. Di Italy saya bertemu Dewi Francesca, perempuan asal Bali yang memiliki kafe yang indah di Rocca di Papa. Dan karena pasport pulalah, Yohannes Surya mendapat bea siswa di Amerika Serikat. Ayo, jangan kalah dengan Gayus Tambunan atau Nazaruddin yang baru punya pasport dari uang negara.




*Ditulis oleh Rhenald Kasali, Guru Besar Universitas Indonesia

Jawa Post, 8 Agustus 2011




tentang kehilangan


"Apapun bentuk kehilangan itu, ketahuilah, cara terbaik untuk memahaminya adalah selalu dari sisi yang pergi, bukan dari sisi yang ditinggalkan..."
_Rembulan Tenggelam di Wajahmu




66 Tahun 6 Hari Indonesia Merdeka


Pendapat saya sederhana. Satu kalimat saja. . .

"#merdekaitu adalah saat dimana lirik terakhir dari lagu kebangsaan kita benar-benar sudah ada dan bisa dirasakan secara nyata..."



HIDUPLAH INDONESIA RAYAAAA. . . .


THE LAST, THE ONE AND ONLY REAL DRAGON IN THE WORLD

Naga purba di era modern? Mungkin terdengar sangat mustahil bagi sebagian orang. Namun percaya tidak percaya, ada satu kadal raksasa (sebagian orang menyebutnya "naga") yang masih hidup dan menguasai beberapa pulau di dunia ini.

Kadal terbesar di dunia, kadal yang dihubungkan dengan gejala gigantisme pulau, kadal yang bisa melihat sejauh 300m, kadal yang bisa mendeteksi keberadaan daging bangkai sejauh 4-9,5 km, kadal yang penyendiri, kadal terbesar yang bisa berlari cepat, berenang, menyelam, pandai memanjat pohon dengan cakarnya, dan kadal yang bisa berdiri dengan dua kaki belakangnya. Kadal yang istimewa. Kadal yang mewarisi sejarah reptilia purba. Kadal yang hanya hidup alami di beberapa pulau di Indonesia. Dan inilah dia. . .


KOMODO DRAGON

Ya! Itulah dia. Komodo. Sang kadal raksasa yang menduduki kasta tertinggi dalam rantai makanan di ekosistemnya. Komodo adalah predator buas yang kerap membunuh mangsanya dengan bisa plus bakteria berbahaya di gigi, mulut, dan air liurnya. Binatang ini juga memiliki cakar yang panjang dan tajam sebagai alat berburu dan penyantap mangsanya. Dia memiliki ekor yang hampir sama panjang dengan badannya. Detektor rasa dan penciuman kadal ini terletak pada lidahnya yang bercabang, bukan di hidungnya. Dan yang lebih spesial lagi, kadal ini mampu memakan korbannya meskipun besar korbannya mencapai 80% dari bobotnya sendiri. Uniknya, setelah makan, komodo menyeret tubuhnya yang kekenyangan untuk berjemur di bawah sinar matahari untuk mempercepat proses pencernaan dalam tubuhnya. Jika tidak, makanan itu dapat membusuk dalam perutnya dan meracuni dirinya sendiri. Karena metabolismenya yang lambat, komodo dapat bertahan dengan hanya makan satu kali dalam sebulan.


Wow!! Luar biasa bukan??



Maka tak heran jika komodo mendapat tempat spesial sebagai "World Heritage" atau warisan dunia yang diakui UNESCO sejak 2 dekade lalu. Semasa kita kecil, komodo pun sudah akrab di kantong dan saku kita. Ya, dia lah yang terukir di uang logam Rp 50,00 dulu. Meski begitu, komodo merupakan spesies yang rentan terhadap kepunahan, dan dikatagorikan sebagai spesies Rentan dalam daftar IUCN Red List. Aktivitas vulkanik, gempa, kerusakan habitat, kebakaran, semakin berkurangnya mangsa, serta perburuan gelap adalah sekian banyak faktor yang menghimpit kelangsungan hidup para komodo.


Tak kenal lelah, berbagai upaya dilakukan untuk menjaga kelestarian satwa langka ini. Taman Nasional Komodo didirikan, berbagai penangkaran dibangun, banyak penelitian dan aktivitas dilakukan untuk menghindarkan komodo dari kepunahan. Sebagai binatang yang eksotis dan "limited edition" pemerintah juga tidak kalah dalam mempromosikan komodo ke dunia luar. Adalah Ajang Pemilihan Tujuh Keajaiban Alam Baru atau "New Seven Wonders of Nature" (N7WN) yang menjadi panggung pembuktian komodo. The Dragon telah berhasil masuk ke 28 besar dari 440 nominasi dari 220 negara.



Namun sayang, promosi komodo lewat ajang ini terpaksa terhenti karena sengketa pemerintah dengan yayasan penyelenggara, New 7 Wonders Foundation. Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar), Jero Wacik, secara tegas menyatakan menarik mundur Taman Nasional Komodo (TNK) dari ajang tersebut dikarenakan New 7 Wonders (N7W) Foundation telah melakukan tindakan tidak profesional, tidak konsisten, dan tidak transparan, serta tidak memiliki kredibilitas yang dapat dipertanggungjawabkan.


Mungkin beberapa dari kita kecewa, sedih, atau bahkan geram. Tapi, ada atau tidaknya promosi melalui N7WN, komodo telah diakui dunia sebagai "The One and Only Real Dragon in The World." Banyak pula kebun binatang – kebun binatang di Eropa dan Amerika yang membantu penangkaran komodo dan memperkenalkan naga purba ini ke masyarakatnya. Tidak hanya itu, bahkan dari hal-hal kecil pun kita tetap bisa mempromosikan komodo kepada khalayak terdekat kita. Berawal dari kreatifitas dan ide segar anak muda jaman sekarang, komodo bisa hadir dalam bentuk Boxer, pakaian dalam atau celana santai para pria.



Kembali lagi, hal besar bisa dilakukan melalui hal kecil. Hal – hal yang sederhana, lucu, "menjurus" dan lain-lainnya, terkadang bisa memiliki nilai dan lebih berkesan bagi orang disekitar kita. Tidak perlu membangun kebun binatang atau pergi ke Pulau Komodo untuk membantu mengenalkan dan menjaga sang kadal raksasa. Cukup duduk di sofa sambil menonton TV dengan mengenakan sebuah boxer pun bisa menyampaikan pesan ke keluarga anda bahwa kita masih peduli terhadap komodo dan ancaman kepunahannya. Ya, sekarang kita semua bisa menunjukkan kecintaan kita terhadap komodo, cerminan eksotisme warisan dunia, representasi kekayaan alam Indonesia!



NO MORE SEVEN WONDERS!!


IT'S TIME TO USE BOXER!!




BOXXXER GILA : "KAMI VITAL TAPI SOPAN"



Referensi:


id.berita.yahoo.com


Tempointeraktif.com


okezone.com


wikipedia.com


antaranews.com


Sumber gambar:


http://travel.nonadita.com/


http://en.numista.com/


http://www.boxxxergila.com/