Catatan Seorang Mahasiswa (PART-1) : "Masihkah kita Memiliki Hati?"

9 Juli 2010


Seorang penjual kopi asal Malang membulatkan tekadnya untuk berjalan kaki dari kota apel tersebut ke ibukota. Motivasinya? Bukan hadiah ataupun ingin memecahkan rekor MURI. Dia mencari keadilan, sobat! 17 tahun yang lalu, anaknya tewas ditabrak polisi. Banyak yang mengetahui peristiwatersebut. Bahkan ada saksi yang sampai mengejar pelaku hingga ke kantornya di kepolisian dan mengetahui identitas si penabrak.


Normalnya,jika sudah ada di kepolisian, ada keluarga korban yang bisa melaporkan, ada saksi yang melihat kejadian, dan tersangka pun sudah berada dikepolisian, proses hukumakan segera berjalan. Tapi ternyata, teori tak selalu sesuai dengan kenyataan. Diperlukan waktu 15 tahun (baca: lima belas tahun!!) untuk membawa kasus tersebut ke pengadilan. Ya, lima belas tahun, kawan!! Salah satu kasus terlama mungkin, satu diantara sekian kasus yang tak terselesaikan hingga presidennya berganti 5 kali, melewati orde barudan reformasi. Kejadian tabrak lari itu terjadi pada tahun 1993, namun baru disidangkan tahun 2008. Anda heran??? Saya pun heran dengan hukum dan birokrasi dinegeri ini. Haaaaahhh. . . .


Baiklah, minimal proses pengadilan berjalan. Namun taukah Anda, pengadilan ini sangat tertutup dan kontroversial. Bayangkan saja, sudah 10 kali panggilan, tapi tersangka tidak pernah hadir dalam pengadilan. Harusnya, jika 3 kali panggilan tidak datang, akan dijemput paksa oleh pihak pengadilan dan kepolisian. Tapi ini sudah 10 kali!! SEPULUH KALI, KAWAN!! Keluarga korban pun tidak diperbolehkan hadir dalam persidangan. Anda heran lagi??? Sama! Tapi hal yang paling kontroversial dan menyakitkan adalah:


-TERSANGKA DIVONIS BEBAS KARENA KASUS SUDAH KADALUARSA-


15 tahun bersabar menunggu proses persidangan, 10 kali tersangka tak hadir dipersidangan, keluarga rela tidak boleh hadir di persidangan,, hanya untuk menunggu KADALUARSA???? Oh, tidak... Nyawa anak manusia seperti tidak ada harganya disini. Masihkah kita memiliki hati untuk iba, sobat?


Adalah Bapak Indra Azwan, pria Malang yang mengalami ketidakadilan tersebut. Sejak vonis bebas itu disampaikan, beliau sudah berkali-kali menempuh jalur hukum untuk mendapat keadilan atas kematian anaknya, Rifki Andhika yang meninggal pada usia 12 tahun. Beliau meminta bantuan LBH (Lembaga Bantuan Hukum) untuk menyelesaikan kasusnya. 14 advokat berdiri disamping Pak Azwan untuk menantang ketimpangan hukum sejak 2008. Namun, tak banyak hasil berarti yang didapat. Masihkah kita punya hati, sobat? 14 advokat seperti tak berarti melawan kesemena-menaan dinegeri sendiri. . .


Puluhan bahkan ratusan cara ditempuh Pak Azwan untuk memperjuangkan keadilan. Beliau meminta tolong LBH Malang, LBH Surabaya, LBH Jakarta, menemui pihak kepolisian, berbicara dan mengirimkan surat ke Markas Kepolisian Brawijaya Malang, OMBUDSMAN, KONTRAS, KOMNAS HAM, KOMPOLNAS, Satgas Mafia Hukum, Kepolisian Republik Indonesia, Komisi III DPR bagian hukum, bahkan ke Mahkamah Agung. Tapi sekali lagi, tak ada respon yang berarti. Masihkah kita memiliki hati untuk ikut prihatin, sobat?


Beliau sudah 8 kali menulis surat ke presiden, mengantarkannya langsung ke Cikeas dan Istana Negara, tapi tidak ada tanggapan dari RI-1. Beliau juga sudah berkali-kali datang ke Monas, Istana Negara, dan kediaman Presiden di Cikeas untuk melakukan aksi mogok makan dan orasi, berharap para pejabat prihatin. Namun apakah mereka peduli??? Saya tidak tahu. . .


Hingga pada tanggal 9 Juli 2010, Pak Azwan memutuskan untuk melakukan aksi nekat jalan kaki dari Malang hingga Jakarta untuk menemui Presiden SBY. Beliau sadar, jika hanya melakukan aksi mogok makan ataupun demo di Monas maupun depan istana, hanya orang-orang yang lewat disitu saja yang melihat ketidakadilan yang dialami beliau. Berbekal surat izin untuk melakukan aksi dan dokumen penting lainnya, Pak Indra mulai menembus 4 provinsi di Pulau Jawa ini. Harapannya sederhana, agar banyak rakyat Indonesia yang melihatnya,agar mereka dan pemerintah sadar bahwa masih ada ketimpangan dan ketidakadilan hukum yang dialami banyak orang. Beliau hanya ingin perubahan hukum, keadilan bagi rakyat kecil.


Setiap harinya beliau berjalan dari pukul 05.30 setelah sholat subuh hingga pukul 21.00. Pria tua ini hanya beristirahat untuk sholat dan makan. Hal yang mengesankan adalah beliau tetap mementingkan ibadahnya agar Yang Maha Kuasa membantu dan memberikan kemudahan baginya. Ketika malam tiba, beliau beristirahat di "Hotel Kuda Laut", istilah yang dipakai Pak Indra untuk menyebut SPBU Pertamina. Disana ada mushola untuk beribadah, ada toilet untuk membersihkan diri, ada pula tempat untuk istirahat.


Beliau hanya membawa uang 500ribu rupiah dari Malang untuk bekalnya. Dan untuk mendapatkan uang itu pun beliau harus menabung berbulan-bulan dari hasil jerih payahnya di warung kopi dan lapak korannya. Keterbatasan dana inilah yang membuat Pak Indra mau tidak mau harus berhemat. Dalam perjalanannya yang melelahkan, beliau hanya makan dua kali sehari. Untuk minum selama di jalan pun beliau harus meminta air di warung-warung yang dilewatinya, karena beliau tahu, uangnya tidak akan cukup untuk makan dan membeli air minum setiap harinya. aaaahhh.... Masihkah kita memiliki hati untuk iba, sobat?


Terik panas dilaluinya dengan semangat dan senyum yang tulus, tak pernah mengeluh. 15 jam beliau berjalan tiap harinya. Hampir 1000 km beliau berjalan kaki. Sepatunya yang sudah usang mulai rusak, kaos kakinya mulai tak nayaman dipakai, kakinya mulai melepuh, bahkan dua kuku kakinya berdarah dan hampir copot. Tiap pagi beliau harus membalut telapak kakinya dengan kapas dan 10 plester di masing-masing kakinya.


Hey kawanku, apakah kita memiliki hati untuk prihatin dengan keadaan dan perjuangan beliau?

Haruskah rakyat kecil berjuang sekeras itu untuk mendapatkan keadilan?

Lalu apa yang bisa kita lakukan untuk membantu beliau?


bersambung. . . .

next: (part-2) 31 Juli 2010 Bapak Indra Azwan akhirnya...

SHARE THIS POST:
Lintasberita FB Share Twitter Share

0 comments: